Bagi sebagian orang, belanja itu sebuah kegiatan yang mengasyikkan. Baik di mal maupun secara online di market place, belanja itu sangat menggoda bukan? Dari yang tadinya hanya ingin memberi satu barang, tahu-tahu malah borong segala macam.
Soal
kebiasaan shopping, kita mungkin sudah cukup sering mendapat nasihat agar
“membeli sesuai kebutuhan, bukan keinginan”. Sebab, kalau kita tidak bisa
mengontrol keinginan, bisa-bisa yang kita dapatkan adalah penyesalan.
Impulsive buying
Perilaku
berbelanja sangat berkaitan dengan apa yang disebut “impulsive buying” atau pembelian yang impulsif. Menurut
Rook (1987) ada tiga fitur utama dalam
impulsive buying, yakni membeli barang yang (1) tidak direncanakan, (2) sulit dikendalikan, dan (3) disertai tanggapan
emosional. Pembelian barang secara impulsif terjadi ketika seseorang mengalami dorongan untuk
segera membeli sesuatu tanpa memikirkan konsekuensinya.
Jadi, dalam kata lain impulsive
buying adalah perilaku membeli sesuatu tanpa dipikirkan secara matang, atau membeli secara spontan
tanpa alasan rasional dan hanya berdasarkan dorongan perasaan.
Kepribadian Pembeli yang Impulsif
Menurut Gray (1975) ada dua sistem di dalam otak manusia.
Sistem pertama namanya Behavioral
Activation System (BAS). Sistem ini responsif terhadap insentif dan isyarat
untuk hadiah, serta
mengatur perilaku pendekatan. Sistem kedua adalah Behavioral Inhibition System (BIS), yang responsif terhadap isyarat
hukuman, frustasi, dan ketidakpastian, serta mengatur perilaku penghindaran.
Masing-masing dari sistem tersebut memiliki sensitivitas yang bervariasi di antara individu.
Orang dengan BIS sangat reaktif rentan terhadap stres dan kecemasan. Sedangkan orang dengan BAS sangat
reaktif rentan terhadap impulsif, dan mereka kurang mampu menolak rangsangan
yang memicu perilaku pendekatan. Dasar biologis dari impulsif kemudian
memberikan dasar bagi perbedaan individu yang kronis dalam impulsive buying.
Penelitian yang dilakukan Ramanathan dan Menon (2006)
melaporkan korelasi 0,35 antara skor pada skala BAS dan kecenderungan pembelian
impulsif. Hal ini menyebabkan ditemukannya korelasi yang relatif kuat antara
kecenderungan impulsive buying dan penilaian
terhadap ciri-ciri big five personality.
Yang
dimaksud dengan big five personality adalah lima dimensi
kepribadian dasar, yang telah ditemukan secara universal dan relatif kronis
sepanjang hidup. Kelima
dimensi kepribadian tersebut adalah
ekstraversi, keramahan
(agreeableness), kesadaran (conscientiousness), stabilitas emosi dan keterbukaan (openness). Kecenderungan
pembelian impulsif berkorelasi positif dengan sifat ekstrovert dan berkorelasi negatif dengan
kesadaran dan keterbukaan. Jadi, hasil ini menunjukkan bahwa pembelian impulsif memiliki
komponen kronis yang berakar pada kepribadian.
Membeli Sebagai Simbol Nilai dan Identitas
Kegiatan membeli barang dapat melambangkan sebuah lifestyle (gaya hidup), kelompok dan
status sosial, kelas, agama, dan lainnya, sehingga membeli barang dapat
dikatakan sebagai suatu kegiatan yang mewakili hal-hal tersebut. Individu
biasanya akan mencoba untuk menonjolkan “siapa dirinya” ketika individu
tersebut merasa terancam, salah satu caranya adalah dengan membeli barang yang
mewakili lifestyle, kelas, atau status yang ingin dikukuhkan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
pembelian secara impulsif dimaksudkan untuk mengklarifikasi, menegaskan, atau
mengekspresikan identitas seseorang. Adapun terkait dengan tujuan dari
pembelian impulsif dapat dilihat dari benda apa yang dibeli secara impulsif.
Fenomena ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh
Wicklund dan Gollwitzer,
yang dikenal dengan teori penyelesaian diri simbolik. Teori ini menyatakan
bahwa individu selalu memiliki kebutuhan untuk menjelaskan dan menegaskan siapa
dirinya. Teori ini beranggapan bahwa simbol penyelesaian adalah indikator
posisi individu yang berkaitan dengan tujuan yang ditentukan diri sendiri, dan
ingin ditunjukkannya kepada orang lain. Sehingga terbentuknya symbol of completion sebagai
simbol-simbol yang dianggap sebagai identitas tertentu.
Tindakan pembelian secara impulsif ini didorong oleh masalah
identitas yang tergambarkan oleh teori penyelesaian diri simbolik ini, di mana pada teori tersebut dinyatakan
bahwa hal ini terjadi akibat dari adanya perbedaan antara “the
real self” dengan “the ideal self” individu. pembelian secara impulsif ini menyebabkan
individu merasa menemukan nilai-nilai materialistis yang ada pada the ideal self.
Kurangnya Kesadaran
Kontrol Diri
Perilaku impulsive buying dikatakan identik dengan kurangnya kemampuan seseorang
dalam mengendalikan diri.
Semestinya, seseorang itu dapat mengerahkan kemampuan mengendalikan diri secara
sadar dalam menahan godaan untuk membeli produk yang diinginkan. Pengendalian itu dapat berbentuk berpikir
terlebih dahulu ketika hendak membelanjakan uang, menjauh dari produk yang
ditampilkan, atau mengatur emosi.
Apa aja yang menyebabkan seseorang kekurangan kontrol diri?
Baumeister (2002) menjelaskan bahwa terdapat tiga hal yang menyebabkan
kegagalan individu dalam mengendalikan
dirinya.
Pertama,
karena adanya konflik tujuan.
Misalnya ketika seseorang memiliki dua keinginan yang berlawanan: untuk menghemat uang dan memuaskan
keinginan.
Kedua, kontrol diri dapat rusak akibat perilaku yang tidak
dipantau. Contohnya adalah ketika pelaku diet melanggar standar dietnya,
sehingga ia berhenti memantau makanan yang dikonsumsi bahkan mengonsumsi lebih
banyak lagi.
Ketiga, karena kelelahan mental. Mengendalikan diri tentu
saja membutuhkan sumber daya mental, sehingga apabila seseorang kelelahan
secara mental maka secara otomatis mereka kekurangan sumber daya tersebut.
Impulsive vs Compulsive
O'Guinn dan Faber (1989) memberikan definisi pembelian
kompulsif (compulsive buying) sebagai
perilaku pembelian berulang dan terus-menerus yang muncul sebagai respons
terhadap peristiwa atau emosi negatif. Motif utama di balik perilaku ini adalah
untuk meringankan perasaan negatif tersebut.
Pembelian kompulsif sering dikaitkan dengan aspek psikologis
seperti harga diri yang rendah
dan emosi negatif. Ini juga terkait dengan harga diri yang tinggi tetapi tidak
stabil, seperti yang diamati pada individu dengan kepribadian narsistik (Rose,
2007).
Selain itu, ini terkait dengan kondisi patologis yang
mengakar seperti gangguan suasana hati dan kecemasan, serta gangguan kontrol
impuls yang terkait dengan penggunaan zat dan gangguan makan (Black, 2007).
Sekilas, pembelian kompulsif mungkin menyerupai bentuk
ekstrim dari pembelian impulsif. Kedua perilaku tersebut memiliki faktor pendorong yang sama, termasuk
nilai-nilai materialistis dan kekhawatiran tentang identitas. Sebaliknya,
kecenderungan pembelian impulsif berkorelasi dengan harga diri yang rendah dan emosi negatif.
Baik perilaku
compulsive buying maupun
impulsive buying dikaitkan dengan kurangnya kesadaran dan penolakan
terhadap perubahan (Mowen & Spears, 1999; Verplanken & Herabadi, 2001)
Self-Regulation and Impulsive Buying
Impulsive buying merupakan contoh ketidakmampuan
seseorang dalam meregulasi diri. Sedangkan Regulasi diri (self-regulation) adalah
kemampuan untuk mengatur pikiran, perasaan, dan perilaku yang sesuai dengan standar
yang diinginkan. Contohnya mengatur pengeluaran uang belanja, memilah mana
kebutuhan dan keinginan.
Pada
kelompok remaja, yang secara umum disebut sebagai masa pencarian jati diri
seseorang, adalah wajar jika mereka rentan terpengaruh, suka plin-plan,
dan tidak stabil. Faktanya, impulsive buying sering ditemukan pada remaja
sebagai pemenuhan kebutuhan sosial. Pembelian barang yang sedang tren bertujuan
untuk mendapatkan validasi dari teman-teman sebaya. Oleh karena itu perilaku atau kebiassan ini bisa
menjadi masalah besar
apalagi kalau kondisi
keuangannya terbatas.
Maka dari itu, dengan self-regulation
individu dapat mengontrol perilaku pembelian impulsif untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dan mengurangi
kecemasan, ketidakbahagiaan, serta meningkatkan kesejahteraan psikologis,
sehingga membantu individu untuk menciptakan strategi yang dapat membantu
mereka menyelesaikan hidup mereka.
Bagaimana mencegah Impulsive Buying
Salah satu trik utama dalam mencegah impulsive buying adalah
mengurangi informasi mengenai tentang barang yang diinginkan. Menjauhi
informasi dengan berbagai cara seperti mengatur timeline platform sosial media
dan membandingkan apakah produk yang dilihat bernilai sebanding dengan harga
yang ditawarkan
Ada
beberapa tips untuk menghindari seseorang untuk terjebak melakukan impulsive
buying, di antaranya:
- Ingat lagi pada tujuan kami mengelola keuangan.
- Jangan lupa untuk mempertimbangkan value (nilai) serta fungsi barang yang ingin
dibeli.
- Ambil
rentang waktu tertentu. Misalnya, ketika ingin membeli sesuatu, pikirkanlah terlebih dahulu selama 24 jam,
apakah tetap ingin membeli barang tersebut atau sebenarnya hanya keinginan sesaat?
- Pikirkan sustainability barang. Apakah barang tersebut
akan awet? Apakah akan kamu pakai terus menerus?
- Be mindful. Jangan belanja ketika kamu dipengaruhi penuh
oleh emosi negatif. Membelilah
dengan penuh kesadaran.
Jadi, buat kamu yang suka belanja online, jangan gampang kena racun spill dan asal check out ya.
***
Tim
Penulis:
Athallah Faiq, Sherli Dewanti, Abi Dwi Nugroho, Anjani Layla
Nafteta Faluty, Athira
Kamilia Fitri, Halwa Adinda Anggie, Khaironnisa Faadihillah
==
Referensi:
- Ramanathan, S., & Menon, G. (2006). Time-varying effects
of chronic hedonic goals on impulsive behavior. Journal of Marketing Research,
43, 628–641.
- Gray, J. A. (1975). The psychology of fear and stress. New York:
McGraw-Hill.
- Verplanken, B., & Sato, A. (2011). The psychology of
impulse buying: An integrative self-regulation approach. Journal of Consumer
Policy, 34, 197-210.
- DeSarbo, W. S., & Edwards, E. S. (1996). Typologies of
compulsive buying behavior: A constrained clusterwise regression approach.
Journal of Consumer Psychology, 5, 231–262.
- Dittmar, H. (1992). The social psychology of material
possessions: To have is to be. Hemel Hampstead: Harvester Wheatsheaf.
- Faber, R. J., & O’Guinn, T. C. (2008). Compulsive
buying: Review and reflection. In Haugtvedt, Herr, & Kardes (Eds.),
Handbook of consumer psychology (pp. 1039–1056). New York: Erlbaum.
- Hanley, A., & Wilhelm, M. S. (1992). Compulsive buying:
An exploration into self-esteem and money attitudes. Journal of Economic
Psychology, 13, 5–18
- Kyrios, M., Frost, R. O., & Steketee, G. (2004).
Cognitions in compulsive buying and acquisition. Cognitive Therapy and
Research, 28, 241–258.
- Yurchisin, J., & Johnson, K. P. P. (2004). Compulsive buying behavior and its relationship to perceived social status associated with buying, materialism, self-esteem, and apparel-product involvement. Family and Consumer Sciences Research Journal, 32, 291–314.