Seberapa sering kamu membandingkan penampilan diri
kamu dengan seseorang yang kamu lihat di media sosial, lalu kamu mereka tidak
pede bahkan kecewa?
Apakah kamu tergolong orang
yang suka mengucapkan kalimat-kalimat dibawah ini:
“Kenapa sih stiap difoto
aku keliatan gemuk?”
“”Kok bisa ya orang kayak dia
langsing banget? Nggak kayak aku, susah banget untuk kurus.”
Tahu gak sih, beberapa permasalahan di atas dapat
dikatakan sebagai Body Dysmorphic Disorder (BDD). Kalau seseorang sering belarut-larut dengan pikiran
seperti itu, ada bahayanya lho.
Apa sih Body Dysmorphic Disorder itu?
Body Dysmorphic Disorder merupakan salah satu gangguan kesehatan mental yang
ditunjukkan dengan kecenderungan seseorang dalam memperhatikan kondisi
penampilan fisiknya secara negatif. Dalam Bahasa
yang lebih sederhana, seseorang yang selalu merasa kurang atau ada yang salah
dengan dirinya.
Menurut Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders edisi kelima tahun 2013, BDD secara resmi dikenal sebagai dismorfofobia, yaitu
kondisi kejiwaan seseorang yang tidak bisa berhenti memikirkan satu atau lebih
kecacatan atau kekurangan yang dirasakan dalam penampilannya, meskipun kekurangannya itu terlihat kecil atau bahkan tidak dapat dilihat dan tidak
menjadi perhatian besar bagi orang lain.
Apa sih Penyebab BDD?
Tuntutan sosial yang berkaitan dengan penampilan
menjadi salah satu faktor seseorang menilai negatif diri dan tubuhnya. Beberapa masyarakat menilai
bahwa kelebihan berat badan menandakan bahwa seseorang itu lemah dan malas.
Selain itu, maraknya penggunaan media sosial di zaman sekarang mendorong banyak
kalangan untuk aktif mengunggah segala aspek dalam kehidupan mereka.
Akibatnya, di media sosial saat ini banyak terekspos
wanita berkulit putih dan kurus yang kemudian membentuk konsep “cantik itu
harus putih”, “cantik itu harus kurus”, atau “memiliki kulit putih dapat
dinilai indah”. Hal ini yang menyebabkan seseorang sering kali merasa kecewa
dengan kondisi fisik mereka.
Hal lain, Apakah
kamu termasuk orang yang perfeksionis? Tahu gak sih kalau
perfeksionisme juga bisa menjadi penyebab seseorang mengalami BDD, lho.
Ya, itu karena orang yang perfeksionis cenderung
meremehkan apa yang menarik bagi dirinya. Mereka akan selalu berusaha terlihat
sempurna dan selalu memperhatikan kekurangan pada dirinya meskipun itu terlihat
kecil. Akibatnya, mereka akan selalu merasa dirinya rendah.
Gejala BDD
Seseorang yang mengalami BDD sering kali tidak menyukai bagian tubuh mana
pun. Mereka senantiasa menemukan kesalahan pada rambut, kulit, hidung, dada,
perut, ataupun bagian tubuh lainnya.
Terdapat beberapa perilaku yang bisa menjadi tanda
bahwa seseorang mengalami BDD, seperti:
- Terus-menerus memeriksa diri di cermin
- Menghindari kegiatan sosial
- Terus-menerus membandingkan diri sendiri
dengan orang lain
Menurut Marks (2022), seorang psikiater asal Atlanta, Amerika Serikat, tanda-tanda awal seseorang
mengalami BDD adalah
memiliki keyakinan delusi, di
mana hal tersebut membuat seseorang berpikir bahwa kekurangan yang ia lihat
pada dirinya merupakan suatu persepsi yang benar, padahal hal tersebut
disebabkan adanya gangguan pada otak.
Selain itu, orang yang mengalami BDD juga sering melakukan pemeriksaan diri di depan
cermin (mirror checking), perawatan berlebihan (excessive grooming),
dan mengelupasi kulit (skin picking).
Adapun orang yang telah positif mengalami BDD memiliki perasaan ingin mengubah bagian tubuh
yang ia anggap memiliki kekurangan, dan
terus mempercayai bahwa bagian tubuh yang ia pikir adalah kekurangan dirinya
memang sangat tidak normal, dan
semua orang memperhatikan hal tersebut. Dirinya sibuk memikirkan hal itu selama
berjam-jam.
Beberapa orang mungkin menganggap sepele perilaku atau kebiasaan tersebut. Namun,
bagi seseorang yang mengalami BDD, aktivitas dan
kehidupannya akan terasa menyiksa. jika terus-menerus dibiarkan bahkan bisa sangat berbahaya. Obsesi
mengejar kesempurnaan berpotensi menimbulkan
depresi bahkan bunuh diri jika tidak ditangani dengan tepat.
Cara Mengatasi BDD
Penanganan masalah BDD ini dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan
terapi perilaku kognitif atau Cognitive-Behavioral Therapy (CBT),
dan pemberian obat-obatan.
1. Cognitive-Behavioral Therapy (CBT)
menekankan pentingnya peranan kognitif terhadap apa yang pasien rasakan dan
lakukan, karena
terapi ini memfokuskan pada bagaimana mengubah pemikiran atau keyakinan yang
negatif. Selain itu, CBT dirancang untuk membantu individu memperoleh wasasan terhadap permasalahannya, sehingga dapat membuat pasien mengubah isi
pikirannya yang terdistorsi menjadi pemikiran yang lebih rasional. Dengan
begitu, pasien dapat memunculkan perilaku yang adaptif.
2. Serotonin Reuptake Inhibitor (SRI) digunakan dalam
pengobatan pada seseorang yang mengalami Body Dysmorphic Disorder. Pengobatan SRI mengacu pada semua
kelas antidepresan Serotonin-specific Reuptake Inhibitor (SSRI), seperti
fluoxetine, sertraline, paroxetine, citalopram, escitalopram, dan fluvoxamine
dan satu antidepresan clomipramine. Dalam pengobatan ini, pasien tidak dapat
menghentikan penggunaan obat secara tiba-tiba karena dapat membuat gejala BDD muncul kembali. Oleh karena itu, penghentian
penggunaan obat harus dilakukan secara bertahap atas anjuran dokter.
Jadi, yuk sudahi perasaan
minder alias tidak pede! Sudahi
membanding-bandingkan diri kita dengan
orang lain, dan fokus untuk menggali potensi yang ada dalam diri sendiri!
**
Tim
Penulis:
Azkadita Widiyanti, Farras Ghina
Apsela, Galuh Sekar Ayu, Jiehan Haura Nuralya, Kiki Aprida Qoirunisa, Lukman
Hakim, Maulana Saleh Habib
==
Referensi:
- American Psychiatric Association, D., & American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and statistical manual of mental disorders: DSM-5 (Vol. 5, No. 5). Washington, DC:American psychiatric association.
-D. McKay, F. Neziroglu (2011), Body Dysmorphic Disorder, Editor(s): B. Bradford Brown, Mitchell J. Prinstein, Encyclopedia of Adolescence, Academic Press.
Marks, T. (2022,
Desember 10). How to know if you have body dysmorphic disorder [Video].